Patil Lele adalah
salah satu jenis permainan tradisional yang cukup populer di Provinsi Jawa
Timur. Permainan yang juga terdapat di Jawa dan tempat-tempat lainnya di
Indonesia ini (meskipun dengan penyebutan yang berbeda) dikenal merata hampir
di setiap daerah yang ada di Jawa Timur.
1. Asal-usul
Permainan tradisional adalah permainan yang telah
diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan biasanya mengandung
nilai-nilai positif (JC. Bishop & M. Curtis,
2005). Permainan tradisional memuat sejumlah aspek manfaat bagi
perkembangan mental dan fisik seseorang. Aktivitas bermain mempunyai fungsi
dalam aspek fisik, motorik kasar dan halus, perkembangan sosial, emosi dan
kepribadian, kognisi, ketajaman penginderaan, mengasah keterampilan, dan
lain-lainnya (MS Tedjasaputra, 2001).
Patil Lele, salah satu
permainan tradisional dari Jawa Timur, juga mengandung aspek-aspek
manfaat tersebut. Aspek manfaat yang terkandung dalam permainan Patil
Lele terutama aspek jasmani dan aspek sosial. Aspek jasmani
berpengaruh pada kekuatan fisik serta daya tahan dan kelenturan tubuh. Sedangkan
aspek sosial meliputi unsur kerjasama, suka akan keteraturan,
hormat-menghormati, balas budi, dan sifat malu atau sikap untuk selalu
menjunjung tinggi sportivitas (Guilford dalam Fitri Astuti, 2009).
Permainan Patil Lele membutuhkan konsentrasi dan ketahanan
fisik yang baik, terutama kekuatan pada tangan, serta memerlukan latihan yang
cukup intensif agar bisa dikuasai dengan baik.
Dari mana Patil Lele berasal
belum diketahui dengan pasti. Namun, ditilik cara memainkannya, permainan ini agak
mirip dengan permainan Benthik yang juga sangat populer di
kalangan masyarakat di Jawa, terutama di Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Di daerah-daerah lain, permainan seperti ini juga dikenal, kendati
dengan nama lain seperti Tak tek di Bangka belitung, Gathik, atau Tal
Kadal. Meskipun dalam keseluruhan tahapan permainannya tidak sama
persis, namun secara umum, permainan Patil Lele bisa
dimasukkan ke dalam satu kategori dengan permainan Benthik dan
sejenisnya.
2. Alat Permainan
Untuk memainkan permainan tradisional Patil
Lele diperlukan alat atau media berupa 2 (dua) potong kayu. Potongan
kayu pertama dengan panjang kurang lebih 40 cm2 disebut “induk”
atau enduk dalam bahasa Jawa Timur. Sedangkan kayu yang
kedua adalah potongan kayu sepanjang kira-kira 6 atau 7 cm2 yang
dinamakan “anak”. Nanti, dalam permainan, potongan kayu “induk” digunakan
sebagai pemukul potongan kayu “anak” (Taufik Hidayat & Pupung P. Damayanti,
2006).
3. Peserta Permainan
Para peserta permainan
tradisional Patil Lele biasanya anak-anak laki-laki usia
Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Akan tetapi, tidak
menutup kemungkinan permainan ini juga dimainkan oleh orang laki-laki dewasa.
4. Tempat dan Waktu Permainan
Permainan tradisional Patil
Lele tidak bisa dimainkan di dalam ruangan, melainkan harus dimainkan
di luar rumah, khususnya di tanah lapang yang berukuran luas dan tidak
terbatas. Selain itu, permainanPatil Lele sebaiknya dimainkan di
tempat yang beralaskan tanah, bukan di ubin atau alas lantai lainnya yang
berkontur keras. Sedangkan waktu untuk memainkan permainan Patil Lele sebenarnya
tidak terbatas, namun biasanya permainan ini dimainkan pada waktu siang
menjelang sore hari (Hidayat & Damayanti, 2006).
5. Persiapan Permainan
Sebelum permainan dimulai, terdapat
beberapa persiapan yang harus dilakukan terlebih dulu, di antaranya adalah
sebagai berikut:
- Semua peserta yang sudah menyatakan akan turut ambil bagian dalam permainan ini terlebih dulu dibagi menjadi 2 (dua) tim. Jumlah masing-masing tim tidak dibatasi, akan tetapi diusahakan sama agar permainan bisa berjalan dengan adil dan sportif.
- Siapkan arena permainan dan titik yang akan digunakan sebagai tempat tolakan potongan kayu dengan cara membuat sebuah lubang di tanah. Lubang tersebut dibuat dengan ukuran memanjang antara 7-10 cm2 (Hidayat & Damayanti, 2006).
6. Cara dan Tahapan Permainan
Pertama-tama, dua kelompok yang
sudah ditentukan di awal permainan dibagi menjadi dua kubu. Kelompok pertama
menjadi kubu yang bermain atau bertindak memukul kayu (misalnya kita sebut
sebagai kelompok A), sedangkan kelompok yang kedua bertindak sebagai kubu yang
berjaga (sebut saja sebagai kelompok B). Penentuan mana kubu yang bermain (A) dan
mana kubu yang berjaga (B) bisa dilakukan melalui undian, misalnya dengan
melakukan sut antara perwakilan dari kedua kelompok.
Perbedaan antara permainan Patil
Lele di Jawa Timur dengan Benthik di Jawa
Tengah dan Yogyakarta terletak pada banyaknya tahapan permainan. Jika
permainan Benthik mengenal 3 (tiga) tahapan permainan, maka
dalam permainan Patil Lele hanya dikenal 2 (dua) tahapan
permainan.
Sebelum permainan Patil Lele dimulai,
terlebih dulu kelompok yang mendapat giliran bermain (kelompok A) menentukan
urutan anggotanya yang akan menjalankan permainan. Anggota yang mendapat
giliran pertama harus berhasil melalui tahapan pertama agar bisa melanjutkan ke
tahap kedua. Menurut Taufik Hidayat dan Pupung P. Damayanti dalam buku yang
berjudul Permainan dan Alat Musik Tradisional Kota Pangkal Pinang (2006),
dua tahapan permainan Patil Lele adalah sebagai berikut:
Tahap Pertama:
- Anggota kelompok A yang mendapat giliran bermain pertama, meletakkan potongan kayu “anak” di atas lubang di tanah yang tadi dibuat. Kemudian, potongan kayu “anak” itu dilempar (dengan cara dicungkil dari bawah) sekuat tenaga dan sejauh mungkin dengan menggunakan potongan kayu “induk” sebagai alat pencungkilnya. Arah lemparan atau cungkilan harus ke arah depan di mana di sana telah bersiap-siap semua anggota kelompok B yang sedang berjaga.
- Setelah potongan kayu “anak” dilempar dengan cara dicungkil ke arah depan, anggota kelompok A yang tadi mencungkil harus meletakkan potongan kayu “induk” di lubang yang menjadi poros lempar dalam posisi melintang. Sementara itu, semua anggota kelompok B sudah berjaga untuk menangkap potongan kayu “anak” yang dicungkil tadi.
- Apabila potongan kayu “anak” bisa ditangkap, maka kelompok B menang dan anggota kelompok A yang bertugas melempar tadi dinyatakan mati atau gagal. Cara menangkap potongan kayu “anak” oleh anggota kelompok B pun memiliki tingkatan nilai. Misalnya, jika berhasil ditangkap dengan satu tangan kiri maka mendapat 50 poin. Apabila ditangkap menggunakan satu tangan kanan maka memperoleh 25 poin. Atau jika hanya bisa menangkap dengan kedua tangan, nilai yang didapat adalah 10 poin. Penentuan nominal nilai-nilai tersebut tidak terikat atau tergantung pada kesepakatan semua peserta.
- Sebaliknya, apabila tidak ada seorang pun anggota kelompok B yang mampu menangkap potongan kayu “anak” yang dicungkil oleh anggota kelompok A, maka kelompok B harus untuk melemparkan kembali potongan kayu “anak” ke arah lubang di mana potongan kayu “induk” diletakkan melintang oleh si pencungkil dari kelompok A. Jarak melempar berdasarkan tempat di mana potongan kayu “anak” tadi jatuh.
- Jika lemparan dari kelompok B berhasil mengenai potongan kayu “induk” yang diletakkan melintang di atas lubang, maka yang bertugas mencungkil tadi (anggota kelompok A) dinyatakan mati atau gagal di tahap pertama ini. Apabila terjadi hal seperti ini maka posisi pun akan berganti di mana kelompok B yang mendapat giliran mencungkil, sedangkan kelompok A gantian “jaga” dan bersiap-siap menangkap cungkilan dari anggota kelompok B.
- Sebaliknya, apabila lemparan dari kelompok B ternyata tidak berhasil mengenai potongan kayu “induk” yang diletakkan melintang di atas lubang maka kelompok A akan memperoleh poin. Poin dihitung berdasarkan jarak lubang dengan tempat di mana lemparan potongan kayu “anak” dari kelompok B terjatuh. Penghitungan poin dilakukan dengan cara mengukurnya dengan menggunakan potongan kayu “induk”, misalnya, satu langkah ukuran panjang potongan kayu “induk” bernilai 1 (satu) poin atau angka nominal lain sesuai kesepakatan peserta. Selain mendapat poin, anggota kelompok A yang mencungkil tadi dinyatakan berhasil dan bersiap melanjutkan permainan ke tahap berikutnya (Hidayat & Damayanti, 2006).
Tahap Kedua:
- Setelah anggota kelompok A yang bertugas mencungkil tadi dinyatakan berhasil, maka ia pun diperbolehkan lanjut ke tahap kedua. Pada tahap kedua ini, potongan kayu “anak” diletakkan setengah miring (menancap dalam posisi miring atau serong) di atas lubang poros. Selanjutnya, ujung potongan kayu “anak” yang berada di luar lubang (setengah ukuran potongan kayu “anak” yang berada di luar lubang dengan posisi mencuat keluar), dipukul dengan menggunakan potongan kayu “induk” sehingga potongan kayu “anak” tersebut meloncat ke atas atau keluar dari lubang.
- Sesaat setelah potongan kayu “anak” meloncat ke atas karena efek pukulan, maka peserta yang sedang bermain (anggota kelompok A) harus memukulnya sekuat tenaga dengan potongan kayu “induk” yang dipegangnya. Pukulan yang kedua ini dilakukan dengan tujuan agar potongan kayu “anak” terlempar sejauh-jauhnya ke arah arena di mana para anggota kelompok B sudah siap sedia menunggu di sana.
- Jika loncatan potongan kayu “anak” tersebut tidak dapat dipukul oleh anggota kelompok A yang sedang bermain, maka ia dinyatakan gagal sehingga posisi antara kelompok yang berjaga dengan kelompok yang bermain harus berganti.
- Sebaliknya, apabila loncaran potongan kayu “anak” berhasil dipukul oleh anggota kelompok A yang sedang bertugas maka permainan pun dilanjutkan. Sama seperti yang berlaku pada aturan tahapan pertama, semua anggota kelompok B harus bersiap-siap menangkap lemparan potongan kayu “anak” yang baru saja dipukul oleh anggota kelompok A.
- Apabila potongan kayu “anak” bisa ditangkap, sebagaimana aturan pada tahap pertama tadi, maka kelompok B menang dan anggota kelompok A yang bertugas melempar tadi dinyatakan mati atau gagal. Masih sama seperti ketentuan dalam tahapan pertama, cara menangkap potongan kayu “anak” oleh anggota kelompok B juga memiliki tingkatan nilai.
- Sebaliknya, jika tidak satu pun anggota kelompok B mampu menangkap potongan kayu “anak”, maka kelompok A berhak mendapatkan poin. Penghitungan poin dilakukan dengan cara mengukurnya dengan menggunakan potongan kayu “induk”, dimulai dari lubang tempat titik tolak menuju tempat di mana potongan kayu “anak” tadi terjatuh (Hidayat & Damayanti, 2006). Satu langkah ukuran panjang potongan kayu “induk” misalnya bernilai 1 (satu) poin atau angka nominal lain sesuai kesepakatan semua peserta.
Jika kelompok A dinyatakan tidak
berhasil, maka posisi permainan pun berubah. Kali ini giliran kelompok B yang
bermain, sedangkan semua anggota kelompok A diharuskan berganti peran sebagai
kelompok yang jaga. Nantinya, jika kelompok B yang sedang bermain ternyata juga
mengalami kegagalan sebelum tahapan kedua mampu dilalui maka posisi permainan
akan berpindah kembali. Kali ini yang mendapat giliran mencungkil adalah
anggota kelompok A yang lain sesuai dengan urutan yang sudah ditentukan sebelum
pertandingan.
Hal itu juga berlaku untuk kelompok
B apabila kelompok A mengalami kegagalan lagi, begitu seterusnya hingga
masing-masing anggota kelompok sudah memperoleh giliran bermain. Penentuan
nilai akhir dilakukan dengan cara menghitung akumulasi poin yang diperoleh oleh
masing-masing kelompok. Kelompok yang berhasil mendapatkan nilai terbanyak
dinyatakan sebagai pemenangnya.
7. Keahlian Khusus
Meskipun secara umum permainan Patil
Lele mudah dimainkan, namun ternyata diperlukan keahlian khusus untuk
bisa memainkan permainan ini dengan aman dan baik. Keahlian khusus itu misalnya,
seorang pemain harus mampu mencungkil dengan sempurna agar lemparan yang
dihasilkan pun akan menjadi maksimal. Seorang pemain Patil Lele juga
harus jeli, peka, tepat waktu dan tepat sasaran dalam melakukan pukulan pada
tahapan kedua agar hasil yang diperoleh juga maksimal.
Memiliki keahlian khusus juga
diperlukan oleh para peserta yang mendapat giliran jaga. Selain untuk
memaksimalkan hasil agar kelompok lawan yang sedang bermain tidak dapat
melanjutkan ke tahapan selanjutnya, keahlian khusus itu juga berguna untuk
menambah poin. Keahlian khusus yang diperlukan oleh kelompok yang sedang
berjaga adalah kejelian dan ketepatan dalam penempatan posisi agar bisa
menangkap potongan kayu “anak”, baik setelah dicungkil (tahapan pertama) maupun
lemparan dari hasil pukulan (tahapan kedua). Selain itu, para anggota kelompok
ini juga harus mampu melempar dengan tepat apabila pada tahapan pertama tidak
dapat menangkap potongan kayu “anak” di mana kayu tersebut harus dilempar tepat
mengenai potongan kayu “induk” yang diletakkan melintang di atas lubang poros.
8. Nilai-nilai
Banyak sekali nilai-nilai positif
yang terkandung dalam permainan Patil Lele dari Jawa Timur
ini, antara lain:
- Melatih insting dan ketepatan dalam bertindak. Dengan memainkan permainan Patil Lele, seseorang akan berusaha memaksimalkan instingnya agar memperoleh hasil yang baik. Selain itu, permainan ini juga akan membiasakan seseorang berpikir cepat dan tepat dalam melakukan sesuatu.
- Melatih kekompakan bekerja dalam tim. Permainan Patil Lele adalah permainan kolektif yang membutuhkan team work yang padu dan saling pengertian antar sesama anggota kelompok.
- Meningkatkan ketahanan fisik maupun mental. Dengan melakukan permainan Patil Lele, ketahanan tubuh seseorang akan meningkat karena permainan ini membutuhkan aktivitas fisik yang cukup prima. Selain itu, ketahanan mental pun akan meningkat karena dalam permainan ini juga menuntut kestabilan mental, misalnya dalam menjaga ego dan emosi.
- Melatih sportivitas dalam berkehidupan. Permainan Patil Lele biasanya melibatkan banyak orang yang dibagi dalam 2 (dua) kelompok. Jalannya permainan akan diawasi langsung oleh semua peserta yang terlibat sehingga rasa sportivitas pun akan selalu terjaga.
- Memupuk tingkat sosialisasi dalam pergaulan. Sekali lagi, permainan Patil Lele adalah jenis permainan kolektif, bukan individual, sehingga ruang sosialisasi dalam pergaulan sesama teman akan selalu terbuka.
- Menjaga kelestarian tradisi dan kearifan lokal. Permainan Patil Lele merupakan produk asli Indonesia, meskipun dengan perbedaan nama di berbagai daerah. Oleh karena itu, dengan melakukan permainan Patil Lele sama halnya dengan turut menjaga tetap lestarinya tradisi asli Indonesia atau kearifan lokal .
9. Penutup
Permainan tradisional Patil
Lele merupakan salah satu kekayaan budaya Melayu, dan menjadi salah
satu wujud keberagaman adat-budaya asli Indonesia. Maka dari itu, keberadaan
permainan tradisional Patil Lele harus selalu menjadi
perhatian supaya tidak mengalami kepunahan dan diambil-alih menjadi hak milik
bangsa lain.
sumber http://lbbkapurputih.wordpress.com/category/edu-game/culture-game/ diakses tanggal 20 Junli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar