Seperti janji saya di tulisan terdahulu,
saya akan menuliskan pengalaman saya berada di ruangan wawancara
beasiswa Fulbright, baik itu sebagai terwawancara maupun pewawancara.
Saya dipanggil untuk wawancara Fulbright sebagai pelamar program
beasiswa Master di tahun 2006, waktu itu Aminef masih berkantor di
gedung Balai Pustaka, belakang Atrium Senen. Sedangkan pengalaman
sebagai pewawancara Fulbright saya dapatkan tahun 2011 yang lalu,
sebagai pewawancara pelamar beasiswa program Master dari wilayah
Sumatera. Wawancara tahun 2011 lalu dilakukan di kantor Aminef yang baru
di gedung CIMB Niaga, Jl Jend. Sudirman.
Sekali lagi, di dalam tulisan ini saya akan menuangkan pengalaman saya (setidaknya yang saya ingat); tidak ada maksud untuk menjadikan tulisan ini sebagai guide sukses wawancara atau semacamnya.
Wawancara pertama…
Saya tidak ingat tanggal dan bulan pasti wawancara pertama tersebut;
semestinya sih saya catat karena memang wawancara Fulbright di
pertengahan tahun 2006 itu memang wawancara beasiswa saya yang pertama
kali setelah berbagai aplikasi beasiswa saya kirimkan sejak saya lulus
SMA. Selain itu, keputusan saya mengikuti wawancara juga, anehnya, bukan
sesuatu yang mudah karena persis sehari sebelum saya menerima surat
panggilan wawancara tersebut saya sudah commit untuk mengikuti diklat prajabatan PNS di lingkungan kampus Universitas Padjadjaran.
Entah memang seharusnya seperti itu atau bagaimana, saya dihadapkan
dengan pilihan mengikuti prajab ATAU mengikuti wawancara, tidak boleh
ijin sehari saja dari pelatihan prajabatan yang… entah berapa lama itu.
Tanpa restu kepala bagian saya, saya pun meninggalkan diklat prajabatan
tersebut. Sebenarnya saya sih mau saja meninggalkan wawancara
Fulbright, kalau saja kepala bagian saya waktu itu bisa menjanjikan
beasiswa yang senilai dengan Fulbright. Oh, mimpi kali ye…
OK, begini cerita di hari-H-nya.
Wawancara dimulai pagi hari, tapi ada cukup waktu untuk berangkat
dari Bandung (diongkosi Aminef) sebelum matahari terbit dan tiba tepat
waktu. Sebelum hari-H dan sepanjang perjalanan, saya bolak-balik membaca
formulir aplikasi dan study objective saya, sambil mempersiapkan
jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang mungkin keluar dari apa yang
saya tuliskan di sana.
Setelan andalan tidak lupa saya kenakan: kemeja biru lengan panjang
merk Tootal, celana panjang bahan hitam merk Cardinal dan jaket bahan
merk Pierrox warna hitam kusam. Warna asli jaket ini sebenarnya hitam,
tapi sudah kusam karena selalu saya pakai sejak saya beli dua tahun
sebelumnya. Jaket Pierrox ini memang kesukaan saya, sampai sekarang
jaket ini masih menemani saya di sejuknya musim semi atau musim gugur di
kota Boston. Bukan saja warnanya sudah semakin kusam, kainnya pun
semakin tipis.
Anyway, setibanya di kantor Aminef, saya menjumpai dua (atau
tiga) orang pelamar lain yang juga sedang menunggu giliran wawancara,
semuanya dari Bandung. Sambil menunggu giliran, kami duduk di ruang
tunggu sambil mengobrol dan mencoba mengusir ketegangan. Setidaknya, saya mencoba mengusir ketegangan. Yang lain kelihatannya santai-santai saja.
Saat yang ditunggu pun akhirnya tiba. Seorang staf Aminef menjemput
saya dari ruang tunggu dan mengantar saya ke ruangan wawancara. Di dalam
ruangan tersebut sudah menunggu tiga orang pewawancara beserta Pak
Piet. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja konferensi besar. Di samping
kiri depan saya, seorang PhD (atau mahasiswa PhD?) penerima beasiswa
Fulbright yang berkebangsaan Amerika, di hadapan saya duduk salah satu
pembantu dekan (atau pembantu rektor?) di, kalau tidak salah,
Universitas Atma Jaya (pernah menerima beasiswa Fulbright) dan Ibu Pia
Alisjahbana sebagai perwakilan dari Aminef. Pak Piet duduk di samping
kanan depan saya, memulai wawancara dengan memperkenalkan para
pewawancara.
Wawancara pun dimulai. Pak Piet mengajukan pertanyaan pertama dengan
mempersilakan saya memperkenalkan diri. Dalam bahasa Inggris. Seluruh
proses wawancara berlangsung dalam bahasa Inggris. Saya orang yang
paling tidak suka melakukan sesuatu hal dengan cara yang sama
berulang-ulang. Oleh karenanya saya paling tidak suka memperkenalkan
diri, karena memang tidak banyak cara untuk memperkenalkan diri: “Thank
you, Pak Piet. It’s a great pleasure to be here. My name is Panji
Fortuna Hadisoemarto. I currently work as a teaching staff at Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran.” Dan seterusnya.
Setelah perkenalan, saya bisa agak sedikit santai karena pewawancara
saya ramah-ramah, tidak ada yang wajahnya seram atau mengintimidasi.
Lalu pertanyaan pun mulai bergulir. Pertanyaan pertama, yang membuat
saya sedikit senang, adalah: “Panji, we are not familiar with ‘epidemiology’, can tell us about it?” Sedikit senang, karena ternyata pewawancara saya tidak ada yang memiliki subject-matter expertise di bidang yang ingin (dan telah) saya tekuni. Jadi, saya pikir, se-basic apa pun penjelasan saya tidak jadi masalah asal saya tampak pe-de. Hehehe. Mulailah saya memberikan penjelasan text-book tentang epidemiologi, yang kebetulan sudah saya siapkan juga sebelumnya.
Sayang sekali pertanyaan-pertanyaan berikutnya hanya saya ingat
samar-samar. Harap maklum, pada dasarnya saya memang pelupa. Seingat
saya, ada pertanyaan tentang flu burung di Indonesia (yang saya tuliskan
di study objective saya),
kuliah epidemiologi di Amerika dan kesiapan saya untuk hidup di
Amerika, apalagi saya memutuskan untuk tidak membawa serta keluarga
saya. Seingat saya sih semua bisa saya jawab dengan baik.
Pertanyaan tentang flu burung tentu bisa saya jawab karena saya
memang pernah bekerja dengan kasus-kasus flu burung di Indonesia.
Seingat saya, saya menjelaskan tentang apa itu flu burung, mengapa flu
burung itu big deal dan kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam pengendaliannya.
Bekal browsing, kerennya sih research, tentang
program-program Master di bidang epidemiologi sangat membantu menjawab
pertanyaan berikutnya. Paling tidak dengan melihat beberapa program yang
ditawarkan di perguruan-perguruan tinggi ternama, saya bisa mengutip
beberapa yang cocok dengan kebutuhan saya dan mengutarakannya di dalam
wawancara.
Apakah saya siap hidup di Amerika? Waktu itu, hanya Tuhan yang tahu. Sebelumnya saya tidak pernah tinggal jauh dari keluarga, ngekos pun tidak pernah. Tapi saya pede
aja lah… Saya bilang, “siap dong, kan ada Skype!” (atau kira-kira
seperti itu lah). Dan wawancara sekitar 45 menit itu pun berakhir. “Thank you for this opportunity. Have a good day.“
Wawancara kedua…
Bulan Juli 20111, saya sedang berada di Jakarta untuk summer internship waktu
saya diminta untuk menjadi salah satu pewawancara pelamar beasiswa
Fulbright MA. Wawancara pelamar dilakukan dalam beberapa gelombang. Saya
rasa di setiap gelombang peserta wawancara punya karakteristik
masing-masing: pelamar program Doktor/Master/lainnya, daerah
Jawa/Sumatera/Indonesia Timur dan sebagainya. Saya sendiri mendapat
jatah wawancara pelamar program Master dari Sumatera.
Mungkin ini perlu Anda ketahui, kalau, sepengetahuan saya, seleksi
dilakukan berdasarkan kuota wilayah. Saya pikir ini bagus, terutama
kalau kita berasumsi pelamar dari Jawa punya privilege akses
pendidikan dan pelatihan yang lebih baik daripada saudara-saudara kita
di Indonesia timur. Saya pikir proses seleksi seperti ini lebih
berkeadilan. Jadi, ayo saudara-saudara yang berdomisili di Indonesia
timur, lebih semangat!
Lanjut.
Beberapa hari sebelum hari wawancara, Aminef mengirimi saya
berkas-berkas aplikasi dari peserta wawancara. Semua pelamar berasal
dari luar Jawa dengan latar belakang dan tujuan yang berbeda-beda:
sarjana hukum, ilmu kepemerintahan, statistik, bahasa Inggris dan
lainnya. Singkat kata, saya bukan subject-matter expert untuk kebanyakan bidang-bidang tersebut!
Nonetheless, saya juga dibekali selembar formulir penilaian
yang saya gunakan sebagai guide untuk menilai setiap pelamar. Saya tidak
ingat secara pasti apa saja yang ada di lembar penilaian tersebut, tapi
kira-kira apa yang disebutkan di sini mirip dengan apa yang saya ingat. Berikut saya kutipkan:
“The
Fulbright program expects that each campus committee interview will
result in a campus committee evaluation … and that these evaluations
must address six basic questions for each enrolled candidate:
1) What are your academic or professional qualifications to pursue your project?
2) How valid and feasible is your proposed project?
3) What are your language qualifications to pursue your proposed project?
4) Do you seem mature, motivated, and able to adapt to new cultural environments?
5) What do you know about your host country?
6) What sort of ambassadorial potential do you have in representing the U.S. abroad?”
Maka saya pun mulai mempelajari berkas-berkas pelamar secara seksama. Mulai dari formulir aplikasi, study objective
dan surat rekomendasi. Saya berusaha mengidentifikasi potensi dan
kelemahan, dan pertanyaan-pertanyaan, yang muncul dari berkas-berkas
tersebut dan apakah pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab di berkas
yang lain atau tidak.
Sebagai contoh, salah seorang pelamar, sebut saja Tn A, menyelesaikan
kuliah S1-nya dalam waktu 6 tahun. IPK-nya baik, tapi masa studinya
terlalu lama dan beliau tidak menjelaskan ini di dalam study objective-nya.
Sayang sekali. Beruntung kekurangan ini dijelaskan oleh pemberi
rekomendasi yang menuliskan kesulitan ekonomi yang dihadapi pelamar
sehingga beliau harus bekerja sambil berkuliah.
Sewaktu saya mempelajari study objective, saya selalu
mengacu kepada daftar pertanyaan yang tertulis di formulir aplikasi. Apa
yang tidak jelas, menjadi kandidat pertanyaan saya kepada pelamar. Saya
sendiri mendapatkan penjelasan yang spesifik sangat memberi kesan
positif ketimbang penjelasan yang bersifat umum. Menuliskan “I want
to take a class such as one that is offered by Professor X in University
Y, that provides theoretical bases, as well as case studies in subject Z,” jauh lebih baik ketimbang menulis “University A is known globally as the best university for subject Z.”
Bahasa Inggris yang baik juga memberi kesan positif, tapi di lubuk hati
terdalam saya tahu banyak pelamar seperti saya dahulu: tidak pernah
menulis essay dalam bahasa Inggris sebelumnya.
Sewaktu saya tiba di kantor Aminef di hari-H, saya sudah terdahului
oleh para pelamar yang memang diinapkan oleh Aminef di Jakarta. Di dalam
ruangan wawancara, sudah menunggu Mbak Isje (staf Aminef), Prof Bana
(Aminef) dan drh Erik Brum (penerima Fulbright Amerika yang sekarang
bekerja di FAO Jakarta). Nampaknya formasi pewawancara program Master
memang demikian: satu dari Aminef, satu Fulbrighter Amerika dan satu
Fulbrighter Indonesia. Dan semuanya orang ramah. Lihat saja saya.
Setelah saya mengambil secangkir teh yang tersedia di ruangan wawancara, deja vu…
Pelamar pertama dipanggil ke dalam ruangan. Ruangan wawancara di
kantor Aminef yang baru, rasanya, bentuknya lebih persegi panjang
ketimbang di kantor yang lama. Meja rapat pun bentuknya persegi panjang.
Kami duduk di satu sisi panjang, pelamar duduk di sisi yang lain. Dekat
sekali. Mbak Isje memulai wawancara dengan memperkenalkan pewawancara,
lalu membuka pertanyaan pertama dengan mempersilakan pelamar
memperkenalkan diri dan menerangkan sedikit tentang program studi yang
diminati.
Ada yang menarik, di antara para pelamar, kelihatannya kemampuan
berbahasa Inggris pelamar bidang studi non-bahasa Inggris rata-rata
lebih baik dari pelamar di bidang studi bahasa Inggris. Hmm.
Anyway, kami pun mendapatkan giliran untuk menjadi penanya pertama. Pertanyaan standar memang “what do you want to study (and why do you want to study it)?” dan “why do you want to study in the US?” Sebenarnya jawabannya sudah ada di study objective,
tapi penjelasan di wawancara diharapkan bisa lebih mendetail sekaligus
bisa digunakan untuk mengukur kesiapan pelamar untuk belajar di Amerika.
Salah seorang pelamar, yang ingin melanjutkan studi hukum, bisa
menjelaskan dengan sangat baik sekali pertanyaan-pertanyaan standar di
atas. Beliau merangkaikan pengalaman-pengalamannya terdahulu dengan
latar belakang akademisnya serta harapan-harapannya dari belajar di
Amerika. Saking baiknya penjelasan yang diberikan, rasanya para
pewawancara seperti terhipnotis. Kalau Anda bisa (seperti) menghipnotis
pewawancara, dengan kata lain, Anda lebih banyak berbicara ketimbang
ditanya, besar kemungkinan Anda ada di posisi yang sangat baik.
Saya pikir pertanyaan kedua itu mudah untuk dijawab, tapi ada juga
yang memberikan jawaban yang kurang memuaskan. Ada yang menjawab “I want to go to school X because it is the best.” Baik, siapa sih yang tidak ingin pergi ke sekolah terbaik. Tapi, pertanyaan berikutnya, “why is it the best? Especially, why is it the best for you?“
Besar harapan pewawancara, jawaban yang diberikan bisa memberikan
gambaran tentang program tertentu, atau mata kuliah tertentu, atau
profesor tertentu, yang membuat program tersebut terbaik. World university ranking bukan jawaban yang relevan. Galilah lebih banyak informasi dari website
universitas/program untuk mengetahui lebih jauh tentang program yang
ditawarkan dan mengapa program tersebut cocok dengan keinginan atau
kebutuhan Anda. Be specific. You know, mungkin saja universitas X adalah yang terbaik, tapi program yang cocok untuk kebutuhan Anda ada di Universitas Y.
Lebih jauh lagi, Anda juga harus bisa menjelaskan apa manfaat yang
bisa diperoleh Indonesia jika Anda bisa menyelesaikan studi tersebut di
Amerika. Ada pelamar yang ingin mengembangkan kurikulum baru di
bidangnya, ada yang ingin bekerja di LSM untuk memperjuangkan nasib
orang terpinggirkan. Bebas saja. Tapi harus bisa meyakinkan pewawancara.
Pertanyaan lain adalah seputar pengalaman hidup di luar negeri atau
seputar kemampuan sosialisasi. Maksudnya, kami ingin mengukur kemampuan
pelamar untuk hidup di tempat asing. Tidak ada yang mau mendengar
berita orang Indonesia setres di Amerika kan? Tunjukkan
kepercayaan diri bahwa Anda memang mampu hidup jauh dari rumah. Dan,
jangan pernah menggunakan film Hollywood sebagai referensi kehidupan di
Amerika, kecuali Anda memang Tom Cruise atau Kim Kardashian. Hehe.
Kesempatan wawancara memang digunakan untuk memperdalam keterangan yang diberikan di aplikasi, study objective
atau surat rekomendasi. Tn A yang saya ceritakan di atas, misalnya,
ditanya mengenai masa kuliahnya yang mencapai 6 tahun. Beliau menjawab
dengan sedikit emosional, menceritakan latar belakang keluarganya yang
serba berkekurangan. Walaupun jawaban emosional kurang enak dilihat (be strong, please), setidaknya kami mengerti bahwa secara akademis Tn A tidak memiliki kekurangan berarti yang bisa menghambat studinya di Amerika, jika beliau terpilih.
Apa lagi ya?
Di luar pertanyaan pendalaman, terkadang memang ada pertanyaan subject-matter
yang dilontarkan, terutama jika pewawancara menguasai bidang yang Anda
ingin pelajari. Tapi jika pertanyaan ‘bonus’ seperti ini sudah
dilontarkan, besar kemungkinan juga Anda ada di dalam posisi yang sangat
baik (sekali lagi, ini adalah wawancara untuk program Master).
Rasanya ingatan saya seputar wawancara Fulbright sudah terkuras. Saya
yakin banyak yang saya lewatkan, namun semoga cukup untuk memberi
gambaran bahwa wawancara adalah proses pendalaman informasi, bukan
sesuatu yang menyeramkan. Pewawancara peduli dengan keberhasilan studi
Anda di Amerika jika Anda terpilih sebagai penerima beasiswa Fulbright.
Oleh karenanya, tunjukkanlah bahwa Anda akan berhasil. Be prepared, be yourself.
Selama wawancara yang berlangsung sekitar 30-45 menit, pewawancara
akan rajin membuat catatan dan penilaian (tertulis maupun secara mental)
terhadap pelamar. Lalu, setelah semua peserta diwawancara, nilai
wawancara ditabulasi dan pelamar mana yang akan melangkah ke babak
selanjutnya akan diputuskan. Ada kalanya pewawancara harus berdiskusi
karena ada nilai yang imbang. Bagaimanapun, berikan usaha terbaik Anda.
Sekian dulu dari saya, jika ada kekurangan, mohon saya diingatkan
lewat komentar Anda. Semoga informasi ini bisa terus saya sempurnakan
dan lengkapi untuk membantu Anda semua.
Good luck!
sumber : http://panjifh.wordpress.com/2012/04/02/di-dalam-ruangan-wawancara-fulbright/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar