Dolanan
Patil Lele termasuk salah satu jenis permainan yang juga sering
dimainkan oleh anak-anak masyarakat Jawa di masa lalu dan cukup
tersebar di berbagai daerah. Buktinya, ada beberapa nama lain untuk
menyebut jenis dolanan ini. Misalnya, di Yogyakarta ada yang
menyebutnya dengan dolanan Bukak Toko. Sementara di daerah Jawa Timur
disebutnya dengan dolanan Patilan. Dolanan ini telah berumur lebih dari
50 tahun lalu, menurut sebuah sumber (Sukirman, dkk. 2004). Bisa jadi,
di daerah lainnya juga mengenal dolanan ini dengan nama lain pula.
Nama
Patil Lele sendiri sebenarnya diambil dari senjata ikan lele yang
berada di sirip dekat insang ikan. Patil lele ujudnya tulang keras dan
sebagai senjata untuk melukai lawan, termasuk manusia yang ingin
menangkapnya. Apabila manusia terkena patil lele, maka akan terasa
panas dingin, sangat sakit, kadang menyebabkan bengkak. Dari sini,
kemudian terinspirasi untuk nama dolanan.
Seperti jenis dolanan
lain, dolanan ini biasa dimainkan kalangan anak-anak bisa laki-laki,
perempuan atau campuran. Mereka bisa bermain pada waktu hari terang,
bisa pagi, siang, maupun sore. Sangat jarang dimainkan malam hari
kecuali cuaca bulan purnama. Waktu yang digunakan itu biasanya saat
waktu senggang, sesudah usai membantu pekerjaan orang tua, usai
belajar, atau usai istirahat.
Permainan ini memang tidak
membutuhkan alat bantu bermain kecuali lahan untuk bermain yang cukup
luas, setidaknya 3x 5 meter atau lebih. Tempat yang biasa dipakai di
halaman kebun yang banyak pepohonan sehingga lumayan teduh. Sementara
untuk pemain harus selalu genap dan minimal 4 anak. Pemain yang ideal
hingga 10 anak. Kurang dari 4 pemain, kurang ramai dan lebih dari 10
pemain terlalu ramai. Mayoritas dolanan anak tradisional membutuhkan
kawan banyak dan berkelompok, termasuk dolanan ini.
Mayoritas dolanan anak
tradisional tidak pernah membeda-bedakan status orang tua mereka.
Begitu pula dengan dolanan ini. Anak siapapun yang hidup di tengah masyarakat
bisa ikut permainan ini, asalkan bisa bergaul dan bersosialisasi
dengan teman sebaya. Begitu pula dolanan ini tidak terkait dengan suatu
upacara keagamaan apapun, jadi sifatnya netral. Pada dolanan ini,
para pemain membutuhkan kekompakan, terutama dengan pasangan bermain.
Selain itu juga dibutuhkan sikap sportif dan berani dari setiap
pemain.
Sebelum anak-anak bermain dolanan
Patil Lele, mereka sudah harus menyepakati aturan lisan, seperti: 1.
pemain dadi adalah dua pemain yang kalah sut terakhir kali. 2. pemain
menang harus berpasangan dua-dua. 3. bila pemain mentas ketika salah
satu kakinya terangkat/melangkah dan kemudian dicablek/dipegang pemain
dadi, maka pemain tersebut menjadi pemain dadi. 4. jika kaki pemain
belakang pemain mentas yang mendapat giliran bergerak belum terangkat
tetapi sudah dicablek, maka ia disebut gosong. Artinya, ia bebas
melanjutkan melangkah dan tidak boleh dicablek lagi. 5. kemenangan
ditentukan apabila telah berhasil lima kali berturut-turut melangkah
tanpa kena cablekan. 6. bagi kelompok menang berhak mendapat gendongan
dari pasangan pemain kalah. 7. bila salah satu pasangan mati, maka
pasangan lainnya berhak menebus dengan berjalan/melangkah sekali lagi.
Jika ia gagal, maka bersama pasangannya harus menggantikan pemain
dadi. Sementara kalau berhasil, maka lolos dari hukuman dadi.
Demikian antara lain aturan tidak tertulis yang biasa disepakati anak-anak sebelum bermain dolanan Patil Lele.
Suwandi
sumber :
Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk., 2004, Yogyakarta, Kepel Press
sumber
http://www.tembi.net/en/news/beritabudaya/dolanan-patil-lele-1481.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar